Nasionalisme yang Melayani, Bukan Membatasi, Servitization SPBU dan Hak Konsumen

Penulis: Dr Adis Imam Munandar

Kelas menengah perkotaan makin memilih SPBU swasta bukan karena oktan semata, melainkan karena pengalaman layanan. Nasionalisme energi tidak boleh menjadi selimut bagi mutu yang tidak merata. Di pasar BBM nonsubsidi, standar layanan adalah medan laga sesungguhnya.

Di jalanan kota besar, pilihan konsumen makin tegas. Banyak pengendara, terutama kelas menengah atas, singgah ke SPBU swasta seperti Shell, BP AKR, atau Vivo. Bukan hanya karena label RON, melainkan karena antrian yang tertata, fasilitas bersih, pembayaran tanpa hambatan, dan program loyalti yang terasa manfaatnya. Fenomena ini menunjuk pada satu kata kunci, servitization, pergeseran strategi dari menjual komoditas ke menjual pengalaman dan solusi. Dalam kacamata manajemen, bensin adalah tiket masuk, nilai tambahnya lahir dari momen layanan yang dirancang dan dijalankan dengan disiplin operasi.

Di sisi lain, ruang publik kita kerap dipenuhi narasi nasionalisme yang memuliakan peran BUMN migas. Nasionalisme tentu penting, tetapi ia tidak boleh menjadi dalih untuk menoleransi mutu layanan yang timpang. Konsumen nonsubsidi yang bersedia membayar lebih, rasional jika menuntut standar yang lebih tinggi. Menyederhanakan pilihan mereka sebagai tidak nasionalis justru mematikan sinyal pasar yang dibutuhkan untuk perbaikan. Pasar mengingatkan, ketika produk semakin seragam, diferensiasi ditentukan oleh kualitas layanan, bukan oleh slogan.

Servitization mengajarkan perubahan cara pandang. Dari logika volume menuju logika nilai yang berulang, dari transaksi per liter menuju hubungan berbasis hasil. Keunggulan yang sulit ditiru lahir dari kombinasi standar operasional yang konsisten, desain proses di lapangan yang rapi, integrasi digital yang mulus, dan kontrak kemitraan yang mengaitkan insentif dengan capaian layanan. Di SPBU, itu berarti waktu layanan per kendaraan yang terukur, akurasi meter yang terjamin, kesiapan pembayaran nontunai, kebersihan fasilitas, ketersediaan produk yang transparan, dan pengalaman pelanggan yang seragam di seluruh jaringan.

Kita juga perlu jujur membaca konteks regulasi. Hilir BBM diikat oleh pengaturan seperti Perpres 191 tahun 2014 beserta perubahannya, yang menata peran badan usaha dan mekanisme penyaluran, serta Permen ESDM yang mengatur mutu layanan penyalur dan prioritas pemanfaatan minyak mentah domestik. Tujuan stabilitas pasokan dan keberpihakan pada industri hilir dalam negeri adalah sah, namun desain kebijakan harus selaras dengan tujuan perlindungan konsumen. Jika kebijakan membuat pilihan menyempit bagi segmen nonsubsidi, maka kompensasinya adalah standar layanan yang ditegakkan dengan transparansi dan pengawasan yang nyata.

Peta Servitization SPBU: Komoditas Sama, Layanan Membeda

Di segmen nonsubsidi, bensin makin seragam, sehingga pengalaman di lokasi menjadi pembeda utama. Polanya, jaringan Pertamina unggul skala tetapi konsistensi front line belum merata, sedangkan SPBU swasta lebih disiplin pada standar harian, aplikasi, dan ekosistem non-BBM.

Dimensi layanan

SPBU Pertamina, pola umum di kota

SPBU swasta, praktik pembanding

Ketersediaan & antrean

Antrean muncul ketika pasok ketat, notifikasi sering terlambat di level lokasi

Informasi stok dan anjuran lokasi alternatif lebih proaktif via aplikasi dan kanal digital

Akurasi takaran & SOP

Insiden takaran sesekali terungkap, menunjukkan pengawasan ada namun kepatuhan belum seragam

Insiden jarang terekspos, kontrol mutu lapangan lebih konsisten di jaringan terbatas

Kebersihan & fasilitas

Kualitas toilet dan area istirahat tidak merata antar SPBU

Kebersihan, minimarket, kopi, dan QSR lebih seragam sebagai one-stop experience

Pembayaran & loyalti

MyPertamina tumbuh, dampak di lapangan bergantung kesiapan tiap SPBU

Shell GO+, BPme, dan promo fintech Vivo terasa langsung pada manfaat transaksi

Transparansi layanan

Kanal aduan terpusat ada, komunikasi gangguan sering reaktif

Notifikasi lokasi spesifik, promo, dan ketersediaan lebih rutin dan real time

Intinya, konsumen kota yang bersedia membayar lebih menilai kepastian layanan, kebersihan, kecepatan, dan kemudahan transaksi. Jika standar ini dijalankan seragam, skala Pertamina dapat berubah menjadi keunggulan layanan, bukan sekadar slogan.

 

Agenda Perbaikan Terukur

Untuk segmen BBM nonsubsidi, kebijakan perlu netral dan pro persaingan agar kualitas layanan naik karena kompetisi, bukan proteksi, izin impor sebaiknya bersifat rolling multi-tahun dengan penyesuaian kuartalan berbasis cadangan operasional, utilisasi kilang, neraca komoditas, dan kepatuhan spesifikasi, akses impor langsung bagi badan usaha yang patuh tetap dibuka sejajar dengan opsi pembelian melalui Pertamina dengan tata kelola asal barang dan standar biofuel yang transparan, sekaligus menempatkan hak konsumen sebagai prinsip pengarah, yakni hak atas pilihan, informasi harga dan ketersediaan yang jelas, keselamatan dan kenyamanan bertransaksi, serta pengaduan yang responsif; pemerintah dapat mewujudkannya dengan dasbor publik real time atas stok dan alokasi lintas badan usaha, SLA perizinan dan clearance kargo yang terukur, serta audit layanan periodik per lokasi SPBU yang dipublikasikan, sehingga nasionalisme melayani terwujud sebagai kebanggaan energi yang dirasakan melalui mutu layanan, Pertamina terdorong maju lewat standar operasional yang konsisten, swasta bersaing sehat pada pengalaman pelanggan, dan publik menikmati ekosistem hilir yang lebih andal, bersih, cepat, serta transparan.

Bagi Pertamina, strategi ke depan adalah menjadikan nilai layanan sebagai inti diferensiasi, bukan pelengkap. Konsistensi SOP di garis depan perlu diperlakukan sebagaimana KPI operasional, mencakup waktu layanan per kendaraan, kesiapan pembayaran nontunai, kebersihan fasilitas, dan akurasi meter, sehingga pengalaman pelanggan terasa seragam di seluruh jaringan. Kemitraan dengan penyalur dapat digerakkan melalui kontrak berbasis hasil, yang mengaitkan insentif dengan capaian mutu layanan dan kelancaran pasok, bukan semata volume. Di segmen urban premium, penguatan aplikasi, loyalti yang dipersonalisasi, serta bundling layanan tambahan seperti cuci mobil, kafe, atau titik pengisian kendaraan listrik akan membangun switching cost yang sehat. Dalam peran sebagai gerbang suplai, kedisiplinan pada spesifikasi, kelengkapan dokumentasi, dan pemenuhan SLA menjadi prasyarat agar Pertamina dipercaya sebagai fasilitator, bukan hambatan.

Bagi SPBU swasta, manajemen risiko pasokan perlu diperketat sejak hulu, dengan portofolio suplai yang memenuhi standar teknis dan legal serta kesiapan menerima komposisi biofuel sesuai spesifikasi nasional. Ketika terjadi gangguan pasok, komunikasi yang cepat dan transparan kepada pelanggan akan menjaga ekuitas merek. Di saat yang sama, menjaga keunggulan layanan harian, dari pengaturan antrian, kebersihan fasilitas, hingga kemudahan pembayaran, akan mempertebal alasan konsumen memilih tanpa perlu bergantung pada narasi di luar pengalaman nyata mereka.

Akhirnya, nasionalisme terbaik dalam pasar BBM nonsubsidi terwujud ketika konsumen Indonesia dilayani setara, bahkan lebih baik, daripada standar global. Pemerintah menjaga level playing field yang sehat, BUMN mempercepat transformasi layanan agar menjadi kebanggaan melalui kinerja yang dirasakan, swasta menjaga disiplin kualitas dan kepatuhan. Dengan begitu, ekosistem hilir bergerak dari slogan ke standar, dari komoditas ke pengalaman, dari kebanggaan simbolik ke mutu yang benar-benar dirasakan.