BBM Non-Subsidi, Kuota, dan E10: Jangan Biarkan Pasar Kekurangan Pilihan

bbm

Penulis: Dr Adis Imam Munandar

 

Pasar BBM non-subsidi butuh kepastian, kebijakan kuota dan E10 tanpa peta transisi justru menyempitkan pilihan energi rakyat.

Gelombang keluhan publik soal mutu Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali mencuat, dari mesin tersendat, kendaraan mogok, sampai dugaan pencampuran yang tidak semestinya. Respons spontan konsumen terlihat jelas, banyak yang beralih ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta untuk BBM non-subsidi karena dianggap lebih konsisten menjaga kualitas dan layanan. Permintaan yang melonjak membuat penjualan di SPBU swasta laris, namun ruang impor untuk mereka terbatas kuota, sehingga stok menipis sebelum akhir tahun. Dalam situasi sempit itu, pemerintah mendorong agar pelaku swasta membeli basis bensin dari Pertamina. Sejumlah operator menolak karena spesifikasi dianggap tidak murni, antara lain isu kandungan etanol sekitar 3,5 persen. Di saat yang sama, pemerintah menyiapkan transisi menuju bensin beretanol 10 persen (E10) pada 2026, sebuah kebijakan yang memantik perdebatan di tengah ketidakpastian pasokan dan regulasi.

Pertanyaan dasarnya sederhana, apakah negara sedang membangun ekosistem energi yang sehat, atau justru ikut menjadi pemain yang menentukan siapa boleh menjual, kapan boleh mengimpor, dan dengan kualitas seperti apa. Dalam teori keunggulan ekosistem, atau ecosystem advantage, daya saing jangka panjang lahir dari tatanan yang membuat setiap pelaku berebut keunggulan lewat mutu, efisiensi, dan inovasi, bukan lewat privilese. Pemerintah yang efektif bertindak sebagai wasit yang konsisten, bukan pedagang yang aktif mengatur arus barang, menentukan spesifikasi, lalu sekaligus memegang kuota impor. Ketika aturan berubah cepat dan memberi sinyal yang membingungkan, biaya modal naik, investasi tertahan, dan ujungnya konsumen kehilangan pilihan.

Transisi ke E10 dapat menjadi bagian dari agenda hijau, selama tata kelolanya menghadirkan kepastian. Etanol bersifat higroskopis, dapat menyerap air, sehingga standar penyimpanan, distribusi, dan pengawasan mutu harus kuat. Kendaraan lama belum tentu kompatibel, maka kejelasan spesifikasi, peta jalan konversi, dan informasi ke konsumen menjadi prasyarat, bukan pelengkap. Kebijakan yang baik memberi ruang adaptasi, menetapkan target yang realistis, dan menjaga konsistensi lintas kementerian, sehingga pelaku usaha dapat menghitung imbal hasil dan risiko secara wajar. Intinya, pasar yang terprediksi akan memupuk investasi pada rantai pasok etanol, peremajaan infrastruktur, dan kualitas layanan di hilir.

Di sisi lain, isu moral hazard pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak boleh diabaikan. Ketika BUMN menikmati soft budget constraint, menerima perlakuan istimewa, dan terlindungi dari konsekuensi pasar, dorongan internal untuk berbenah melemah. Perlindungan boleh ada pada fase awal untuk memperkuat fondasi, namun seiring skala membesar, BUMN perlu berdikari dan bersaing pada level playing field yang sama. Privilese yang berkepanjangan menimbulkan distorsi, mengundang praktik lobi yang tidak produktif, serta menggeser energi manajerial dari peningkatan mutu ke perburuan rente. Jika segmen non-subsidi dimaksudkan sebagai arena persaingan sehat, maka aturan kuota, spesifikasi produk, dan akses impor harus netral, transparan, dan dapat diaudit, sehingga yang menang adalah mutu dan layanan, bukan kedekatan pada pusat kuasa.

Ecosystem advantage menuntut negara hadir sebagai arsitek yang memastikan kepastian hukum, konsistensi standar, dan insentif perilaku baik. Pemerintah mengatur, mengawasi, dan memberikan sanksi ketika kualitas dilanggar, namun tidak mendorong pelaku swasta membeli bahan baku yang tidak sesuai perjanjian. Pemerintah memfasilitasi transisi hijau, namun tidak mengunci pasar pada satu pintu pasokan. Pemerintah melindungi konsumen, namun juga memberi sinyal jangka panjang yang kredibel kepada investor. Dengan begitu, SPBU swasta memiliki kepastian untuk berinvestasi, Pertamina sebagai BUMN besar terdorong meningkatkan mutu dan layanan tanpa bergantung pada privilese, dan masyarakat sebagai konsumen memperoleh pilihan yang adil.

Akhirnya, energi yang berkeadilan bukan soal oktan atau kadar etanol, melainkan keberanian menata ekosistem. Aturan harus tegas dan konsisten, wasit berdiri di tengah dan tidak ikut bermain, maka pasar bekerja, konsumen diuntungkan, investasi mengalir, dan ambisi dekarbonisasi melaju dengan pijakan kokoh. Inti persoalan adalah iklim usaha: segmen non-subsidi wajib menjadi arena kompetisi sehat dengan akses pasokan yang netral, standar mutu yang konsisten, dan penegakan aturan yang transparan. Negara bertugas mengatur, mengawasi, serta melindungi konsumen, bukan berdagang, apalagi memaksa keputusan bisnis yang menutup pilihan. Jika ekosistem tertata, Pertamina menang karena layanan dan kualitas, bukan karena privilese, pelaku swasta berani berinvestasi, dan publik memperoleh dua hal terpenting dari pasar energi, kepastian dan pilihan.